Yayasan Geutanyoe

Yayasan Geutanyoë di konferensi Penguatan Perlindungan terhadap Pengungsi, Australia

SYDNEY, AUSTRALIA– Masyarakat dunia kini mendapatkan banyak pelajaran yang dapat diambil dari tindakan mulia para nelayan Aceh, yang mana menyelamatkan kapal pengungsi Rohingya yang terdampar di laut pada Mei 2015 laut didasari oleh sifat kemanusiaan, sebagaimana yang dipaparkan menurut Direktur internasional Yayasan Geutanyoe,Lilianne Fan. kepada khalayak yang hadir saat konferensi Penguatan Perlindungan terhadap Pengungsi yang diselenggarakan di Universitas New South Wales Sydney, Australia pada 22 Februari 2017.

Lilianne Fan menjadi salah satu panelis pada konferensi tersebut yang turut pula hadir perwakilan regional UNHCR Thomas Albrecht. Liliane menyampaikan kisah para nelayan Aceh menyelamatkan pengungsi Rohingya di tahun 2015 serta memuji Malaysia dan juga Indonesia yang mana turut bersuara untuk menentang kekerasan militer yang baru terjadi di negara bagian Rakhine, Myanmar yang telah dimulai sejak Oktober 2016.

“Disaat pemerintah kita mendorong dan menolak jauh-jauh kapal para pengungsi namun nelayan Aceh mempertaruhkan hidup mereka sendiri untuk menolong para orang-orang yang putus asa didalam kapal tersebut yang mana dalam kondisi yang teramat menyedihkan, serta mereka meyakinkan pemerintah setempat untuk mengambil dan menyediakan penampungan sementara” ujar Liliane Fan mengisahkan penyelamatan fenomenal nelayan Aceh.

Liliane Fan juga mengamati bagaimana terjadi kekerasan militer yang terjadi secara ekstrim di negara bagian rakhine telah mengakibatkan pergeseran yang cukup signifikan di tubuh para anggota ASEAN, khususnya Indonesia Dan Malaysia yang pada akhirnya telah bersuara untuk bersimpati dan melakukan tindakan-tindakan guna mencegah terjadinya kekerasan, dan menyerukan agar para dewan ASEAN agar tidak berdiam diri dan tidak melakukan intervensi.

Konferensi yang berlangsung selama dua hari tersebut diselenggarakan oleh Dewan Pengungsi Australia bekerjsama dengan Universitas New South Wales, ikut serta didalamnya lebih dari dua ratus peserta yang hadir, konferensi tersbut bertujuan untuk mengkaji secara mendalam menganai praktek yang baik dalam menangani, mengintegrasikan serta memberdayakan para pengungsi secara lebih baik.
http://www.refugeealternatives.org.au/

Diantara salah satu pembicara, turut hadir Dr Munjed Al Muderis, mantan pengungsi yang juga merupakan seorang ahli bedah ortopedi dari Baghdad yang datang ke Australia dengan perahu melalui Malaysia dan Indonesia. Beliau menjadi contoh pengungsi yang berhasil berintegrasi secara administratif dan ikut serta berkontribusi untuk masyarakat baru mereka.
http://www.smh.com.au/good-weekend/the-astonishing-journey-of-surgeon-munjed-al-muderis-20140918-10iqce.html

Dalam sesi penutupan konferensi, Liliane Fan kembali menjadi pembicara didampingi oleh Najeeba Wazefadost dan Arif Hazara yang merupakan pengungsi muda asal Afganistan dimana mereka tiba ke australia melalui boat sepuluh tahun lalu, dan juga seorang pengungsi asal sudan yang bernama Atem-Atem.

Ketika diminta untuk menceritakan kepada para audiens mengenai bagaimana dirinya pertama kali mulai bekerja untuk pengungsi, Lilianne menjelaskan bahwa keterlibatan dirinya sendiri dalam masalah pengungsi dimulai ketika dirinya masih menjadi seorang mahasiswa yang pada saat itu berusia 19 tahun di New York, di mana ia bertemu seseorang dan menjadi teman dekat, yaitu Jafar Siddiq Hamzah, pendiri Forum Internasional untuk Aceh, dan juga seorang pengacara yang aktivis HAM Aceh yang menyuarakan hak-hak pengungsi Aceh korban konflik.

Jafar sudah menjadi seperti saudara bagi Lilianne dan dia membantunya menerjemahkan dan mendisemminasi laporan HAM dan bersama-sama pula mereka mendirikan Koalisi Mahasiswa Aceh yang membangun jaringan solidaritas di New York melalui gerakan mahasiswa non-kekerasan di Aceh. Setahun setelah mereka mulai bekerja sama, Jafar kembali ke Aceh. Beberapa minggu setelah kembalinya ke Aceh ia menulis kepada Lilianne dan mengatakan padanya dia akan meninggalkan Lhokseumawe menuju ke Medan karena ia tidak merasa aman. Lalu Beberapa hari kemudian, pada tanggal 5 Agustus 2000, Lilianne menerima telepon dari adik Jafar, yang mana Jafar telah diculik di Medan. Setelah Jafar hilang selama satu bulan, tubuhnya ditemukan 60km dari Medan. “Itu adalah titik balik bagi saya dan berjanji untuk Jafar bahwa saya akan melanjutkan pekerjaan Jakfar untuk membawa perdamaian ke Aceh, dan membantu Aceh dan para pengungsi Aceh yang terdampak konflik ” ujarnya pada para audiens yang membuat banyak orang meneteskan air mata dikarenakan terharu.

Sebagai penutup, Lilianne mengingatkan audien tentang pentingnya memperkuat komitmen global dan upaya untuk mengakhiri perang guna membangun perdamaian. “Kita harus berhenti berbicara tentang pengungsi sebagai ” krisis “. Pengungsi bukanlah sebuah masalah. Masalahnya adalah konflik dan ketidakmampuan kita sebagai komunitas global untuk menghentikan perang dan membangun perdamaian yang berkelanjutan. Aceh merupakan salah satu dari beberapa proses perdamaian yang telah diselenggarakan dalam beberapa tahun kebelakang. Tapi apa yang kita lakukan untuk mengakhiri konflik di Sudan Selatan, atau Suriah, atau Yaman? Itu adalah permasalahan yang nyata.”

For further information, please contact:
Zafri
Media Staff of Yayasan Geutanyoë
zhiezafri23@gmail.com
yayasangeutanyoe@gmail.com
+62 853-1045-4813 (WA)
Facebook: https://www.facebook.com/yayasanGeutanyoë/
Website: http://geutanyoe.org/

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top
Scroll to Top