Novendra, Monev Officer Yayasan Geutanyoe
Setelah mengarungi perjalanan laut yang melelahkan hingga 25 hari lamanya, gelombang baru pengungsi Rohingya yang terusir dari kampung halamannya kembali terdampar di perairan Aceh, di jalur laut Selat Malaka. Tepatnya pada Minggu dinihari, tanggal 6 Maret 2022, sekitar pukul 03.00 WIB, sebanyak 114 orang yang terdiri dari laki-laki dan perempuan dewasa, dan juga anak-anak, akhirnya mendarat di Pantai Alue Buya Pasie, Kecamatan Jangka, Kabupaten Bireuen. Sebagaimana keterangan dari Camat setempat, gelombang baru pengungsian etnis Rohingya kali ini tampaknya tidak hanya terdiri dari rombongan 114 orang yang telah mendarat di pesisir Aceh itu, diperkirakan ada rombongan lainnya yang masih terombang-ambing di lautan.
Pengungsi etnis Rohingya yang kini telah mendarat tersebut, sebagaimana dikabarkan oleh Badruddin, Panglima Laot Lhok Kabupaten setempat, turun sendiri ke daratan untuk meminta bantuan kepada penduduk setempat, setelah menempuh perjalanan laut yang panjang, hampir satu bulan, dengan tanpa bantuan navigasi yang jelas, sehingga terombang-ambing di perairan laut lepas. Keberadaan dan kondisi yang mereka alami sebelumnya tidak sempat terpantau oleh para nelayan Aceh. Pasalnya, beberapa hari hingga sampai pada waktu kejadian, tidak ada warga yang berprofesi sebagai nelayan di kawasan itu yang melaut, dikarenakan faktor cuaca yang buruk.
Masyarakat Aceh, utamanya masyarakat nelayan di pesisir Aceh, telah sering menjadi Tuan Rumah untuk menerima datangnya gelombang pengungsian Rohingya yang terdampar di perairan mereka, dan hal itu tampaknya akan terus berlanjut untuk kedepannya. Setelah pecahnya kerusuhan di negara bagian Rakhine, Myanmar, pada tahun 2012, dan krisis pengungsi Rohingya mendapat perhatian internasional secara lebih luas pada tahun 2015, orang-orang Rohingya menempuh perjalanan laut yang berbahaya dalam upaya melarikan diri ke beberapa negara Asia Tenggara, yang tujuan utama mereka adalah Malaysia. Dengan kondisi seadanya, tanpa memiliki fasilitas untuk melakukan pelayaran yang memadai, para pengungsi Rohingya kerap terombang ambing di lautan lepas, hingga terdampar di perairan sekitar pesisir Aceh. Para nelayan Aceh yang melaut kerap mendapati para pengungsi tersebut dalam kondisi yang mengenaskan, mulai dari mengalami kelaparan akibat kekurangan makanan, tidak tersedianya obat-obatan dan dukungan medis, kerusakan mesin boat, hingga pecahnya rangka kapal yang mereka tumpangi.
Selama ini, nelayan Aceh menjadi yang terdepan dalam mengulurkan tangan untuk memberikan pertolongan bagi pengungsi Rohingya yang terdampar di laut Aceh dan membutuhkan bantuan, hingga tindak penyelamatan dalam kondisi darurat. Berbagai bentuk bantuan yang diberikan, mulai dari menyediakan kebutuhan makanan dan obat-obatan, bantuan teknis yang mungkin untuk melanjutkan pelayaran, ataupun sampai pada kebutuhan tindak evakusi. Misi kemanusiaan oleh para nelayan Aceh di lautan tersebut dijalankan dengan sumber daya yang mereka miliki dan fasilitas seadanya. Dan dalam situasi dan kondisi tertentu tidak selalu dapt berjalan dengan mudah. Ada berbagai tantangan yang dihadapi, selain faktor keterbatasan fasilitas pendukung misi, kendala teknis dalam koordinasi, hingga keterbatasan pengetahuan dalam penilaian kondisi dalam pengambilan keputusan tindak penyelamatan yang mungkin bertentangan dengan kebijakan atau aturan hukum formal yang berlaku di Indonesia.
Bagaimanapun, doktrin moral dan atau ‘konstitusi’ lokal Adat Laot Aceh, mewajibkan para nelayan untuk senantiasa memberikan pertolongan di lautan kepada siapapun yang membutuhkannya, tanpa memandang status etnis, agama, kewarganegaraan, dan stratus sosial. Hanya saja, selama ini yang kerap melintasi perairan Aceh dan mengalami kondisi kedaruratan yang membutuhkan upaya pertolongan adalah gelombang pengungsian Etnis Rohingya. Mandat berupa keharusan memberi pertolongan tersebut tentu menempatkan para nelayan pada kebutuhan segala sesuatu yang berkaitan dengan kesiapan (kontigensi) yang lebih memadai dari berbagai aspek untuk kedepan. Karenanya, diperlukan upaya bersama dari berbagai pihak, terutama yang memiliki wewenang di pemerintahan, yang dapat mendukung peran-peran bantuan (misi) kemanusiaan yang maksimal untuk terus dijalankan oleh institusi adat laot di Aceh.
Ada banyak masyarakat yang melarikan diri dari negaranya dan menjadi pengungsi lintas batas, menyelamatkan diri konflik politik dan atau negaranya dilanda perang, namun mereka setidaknya masih memiliki statatus kewarganegaraan yang jelas dan diakui. Malangnya, tidak demikian dengan nasib yang dialami etnis Rohingya, warga Muslim yang mendiami negara bagian Rakhine (Arakan) itu tidak diakui kewarganegaraannya oleh rezim politik negara Myanmar. Pada tahun 1982, pemerintah Jenderal Ne Win memberlakukan hukum kewarganegaraan di Burma, yang dimana Undang-undang tersebut menolak status kewarganegaraan etnis Rohingya. Dengan demikian, hak-hak dasar sipil dan politik mereka terampas begitu saja. Mereka tidak mendapatkan perlindungan negara atas hak-hak semisal atas kepemilikan properti, layanan sosial dasar dan juga administrasi kependudukan. Akibatnya, sehingga begitu mudah terusir dari tanah dan rumah-rumah yang mereka tempati. Karenanya, menjadi layak untuk menyebut Rohingya sebagai etnis yang paling terzalimi di dunia.
Para pengungsi Rohingya yang telah mendarat di Pantai Alue Buya Pasie itupun kini ditampung untuk sementara waktu di Meunasah setempat. Saat ini berbagai pihak yang peduli atas penanganan pengungsi, termasuk Yayasan Geutanyoe, melakukan upaya-upaya yang diperlukan dalam penanganan merespon kondisi kedaruratan paska pendaratan. Selain itu, juga berkoordinasi dengan berbagai pihak berwenang bagi proses penanganan warga asing yang masuk ke wilayah teritorial Indonesia, baik dalam rangka penentuan status mereka maupun terkait opsi penempatan mereka ke fasilitas yang lebih layak.